Ketatanegaraan Indonesia : Perspektif Konstitusional

Ketatanegaraan Indonesia
Perspektif Konstitusional

kabarebuku, cover buku, Ketatanegaraan Indonesia : Perspektif Konstitusional, image
Penulis :Prof. Dahlan Thaib
Penerbit :Total Media
Cetakan :2009
Tebal :x + 313 halaman
Ukuran :- cm


Keterangan Buku

ISBN :979-1519-20-x
Kondisi :Buku Baru, Segel (plastik)
Berat :-
Stok :cukup
Harga Lama :Rp 55.000,- / eks
Harga Baru :Rp 45.000,- / eks (belum termasuk ongkos kirim)


Kami memberikan diskon khusus (lebih murah) bagi pembelian :
  • pembelian untuk pengadaan perpustakaan umum
  • pembelian untuk dijual kembali (minimal 50 eks)
Langsung menuju : BIODATA BUKU | KILAS BUKU | BELI BUKU INI


Kilas Buku

Resensi Buku

MEMBANGUN KETATANEGARAAN INDONESIA BERWAWASAN PANCASILA

Upaya untuk mengamandemen UUD 1945 selama masa pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto hampir pasti tidak mungkin dilakukan. UUD 1945 telah dianggap benda sakral yang tidak boleh disentuh oleh tangan-tangan perubahan. Setiap usaha untuk mengkoreksi UUD 1945 dianggap sebagai tindakan subversi, melanggar hukum dan mengancam stabilitas program pembangunan nasional.

UUD 1945 yang memberikan kekuasan penuh kepada lembaga eksekutif/Presiden (executive heavy) merupakan senjata ampuh rezim kala itu untuk mempertahankan kekuasaan. Tidak mengherankan jika upaya untuk merubah UUD yang lahir dan dibentuk dalam kondisi ”darurat” tersebut senantiasa dihalangi. Perangkat penghalang-pun dipersiapkan. Salah satunya adalah diterbitkannya Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum.

Ketika reformasi bergulir, tuntutan rakyat untuk mengamandemen UUD semakin tidak terbendung. MPR bersepakat (walau tidak terlalu bulat karena masih terdapat beberapa kelompok yang tidak menghendaki adanya amandemen UUD) untuk melakukan amandemen terhadap UUD 1945. Sebelum melakukan perubahan terhadap UUD 1945, MPR dalam Sidang Istimewa MPR tahun 1998 mencabut Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/1983 tentang Referendum yang mengharuskan terlebih dahulu menyelenggarakan referendum secara nasional dengan persyaratan yang sedemikian sulit sebelum dilakukan amandemen UUD 1945 oleh MPR. Keputusan tersebut menjadi tapak baru dalam sejarah konstitusi dan ketatanegaraan Indonesia.

Bangunan ketatanegaraan Indonesia dalam perspektif konstitusional telah mengalami perubahan yang signifikan pasca amandemen UUD 1945. Amandemen yang dilakukan oleh MPR RI pada tahun 1999 sampai dengan tahun 2002 melalui amandemen pertama (SU MPR 1999), amandemen kedua (ST MPR 2000), amandemen ketiga (ST MPR 2001), dan amandemen keempat (ST MPR 2002) merubah secara signifikan menggeser paradigma bangungan ketatanegaraan Indonesia.

Amandemen terhadap UUD 1945 tergolong radikal dan membongkar hampir keseluruhan naskah asli. Sebelum amandemen, UUD 1945 terdiri dari 71 butir ketentuan sedangkan setelah amandemen menjadi 199 butir ketentuan atau bertambah sekitar 141%. Dari 199 butir ketentuan tersebut, naskah UUD yang masih asli tidak mengalami perubahan sebanyak 25 butir ketentuan atau sekitar 12%, adapun selebihnya sebanyak 174 butir ketentuan atau sekitar 88% merupakan materi yang sama sekali baru.

Amandemen tersebut bersifat sangat mendasar karena mengubah prinsip kedaulatan rakyat yang semula dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR menjadi dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Hal itu menyebabkan semua lembaga negara dalam UUD 1945 berkedudukan sederajat dan melaksanakan kedaulatan rakyat dalam lingkup wewenangnya masing-masing. Perubahan lain adalah dari kekuasaan Presiden yang sangat besar (concentration of power and responsibility upon the President) menjadi prinsip saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances). Prinsip-prinsip tersebut menegaskan cita negara yang hendak dibangun, yaitu negara hukum yang demokratis. Selain itu, kehadiran Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai perwakilan daerah dalam rangka menyuarakan aspirasi masyarakat dari Daerah di Pusat dan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan ”kedua” semakin menambah pengayaan kelembagaan negara di Indonesia.

Buku yang berjudul ”Ketatanegaraan Indonesia: Perspektif Konstitusional” karangan Prof. Dahlan Thaib (Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Islam Indonesia) ini memberikan gambaran detail berbagai dinamika ketatanegaraan yang terjadi. Buku yang merupakan kumpulan makalah ini jika dilihat dari dimulainya makalah pertama yang bertanggal 17 Desember 1998 menjelaskan dinamika ketatanegaraan pasca tumbangnya Orde Baru (masa Orde Reformasi).

Oleh karena berupa kumpulan makalah dalam beberapa perjamuan ilmiah yang dihadiri penulis selaku narasumber, buku ini tidak disusun dalam beberapa bab melainkan menggunakan istilah ”bagian”. Keseluruhan isi buku berjumlah 5 (lima) bagian serta diberi judul untuk masing-masing makalah. Kelima bagian tersebut sepertinya tidak dengan sengaja untuk menunjukkan sebuah rajutan bahasan antara satu bagian dengan bagian yang lain. Namun demikian, kesuluruhan tulisan tersebut masih merupakan satu rumpun kajian hukum tata negara kontemporer. Disebut kontemporer karena bahasan dalam buku tidak melulu teori hukum tata negara tetapi sudah pada tataran praktis ketatanegaraan Indonesia saat ini.

Penulis sepertinya sengaja memulai bahasan pada bagian pertama dengan memberikan pemahaman awal mengenai wawasan kebangsaan dan Pancasila sebagai akar atau dasar dari ketatanegaraan Indonesia. Pada bagian ini, penulis seolah ingin berselancar dalam samudera pemahaman makna filosofi dasar negara Indonesia (Pancasila) seraya menyerukan keharusan implementasi filosofi Pancasila itu ke dalam seluruh ranah kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagi penulis, berbagai gejolak yang terjadi dan mengoyak nasionalisme, kesatuan dan persatuan pada masa-masa awal reformasi adalah karena pemimpin negeri (pemerintah) dan elemen bangsa ini tidak mampu menjaga dan merawat dengan baik wawasan kebangsaan berdasarkan Pancasila (hal. 4). Ketika bangunan konstitusi hendak dibangun, wawasan kebangsaan dan keteguhan hati untuk mempertahankan Pancasila menjadi kemutlakan. Untuk itu, adalah keliru jika Pancasila ditempatkan sebagai sebuah ideologi yang kaku dan dogmatik (hal. 10).

Implementasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sangat sesuai dengan tujuan dari bangsa ini sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD 1945. Sebagai dasar negara yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945 Pancasila telah berperan mengikat dan menyatukan masyarakat Indonesia yang pluralistis dengan menumbuhkan perasaan kebangsaan yang mendalam (hal. 22). Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam rangka pelestarian Pancasila. Pertama, hukum harus memimpin semua program-program kenegaraan Indonesia. Kedua, Pancasila harus dijadikan sebagai cita hukum (rechts idee) bangsa Indonesia khususnya dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan (hal 23). Termasuk tentunya dalam hal melakukan amandemen UUD 1945. Semua prinsip/asas-asas dalam Pancasila harus senantiasa dijadikan pedoman dalam melakukan amandemen konstitusi.

Pancasila merupakan sebuah kesepakatan bangsa Indonesia. Dia ideologi jalan tengah yang sejauh ini masih sangat relevan untuk diterapkan. Oleh karena itu, adalah tidak berlebihan jika pada saat amandemen UUD 1945 yang berlangsung kurang lebih selama 3 (tiga) tahun yang lalu, Panitia Ad Hoc I MPR menyusun kesepakatan dasar berkaitan dengan amandemen UUD 1945 yang antara lain:

  1. Tidak mengubah Pembukaan UUD 1945
  2. Tetap mempertahankan Negara Kesatuan Republik Indonesia
  3. Tetap mempertahankan Sistem Pemerintahan Presidensial
  4. Penjelasan UUD 1945 yang memuat hal-hal normatif akan dimasukkan ke dalam pasal-pasal (batang tubuh).
  5. Perubahan dilakukan dengan cara “adendum”.

Kesepakatan untuk tidak mengubah Pembukaan UUD 1945 sudah tentu didasari oleh sebuah kesadaran bersama bahwa di dalam Pembukaan UUD 1945 terdapat nilai dasar dibangunnya negeri ini. Pada pembukaan itu pula, Pancasila sebagai dasar negara dinyatakan dengan tegas setelah menyatakan dengan tegas pula tujuan dari didirikannya bangsa Indonesia (melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial).

Penulis juga berulang-ulang mengingatkan pembaca akan arti penting diwujudkannya tujuan negara tersebut. Setidaknya di tiga halaman penulis menyebut tujuan negara Indonesia sebagaimana termuat dalam Pembukaan UUD 1945 yakni di halaman 22, 28, dan 36 dalam bukunya. Untuk hal itu, maka tidaklah berlebihan jika Penulis layak mendapat sebutan sebagai pejuang bagi tegaknya welfare state (Negara Kesejahteraan) Indonesia.

Pada bagian kedua, tulisan penulis mengarah ke arah yang lebih praktis dalam praktek ketatanegaraan Indosia. Pada bagian ini tulisan difokuskan pada politik hukum otonomi daerah. Dimulai dengan tulisan mengenai kedudukan Kepala Daerah pasca Pemilu 1999, Pilkada langsung, pelaksanaan otonomi dan diakhiri dengan pembahasan mengenai pembangunan kualitas produk legislasi nasional dan daerah.

Sebagai orang yang pernah menjadi ”praktisi” pemerintahan pada Pemerintah Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, tidak lupa penulis menyisipkan tulisan mengenai persoalan krusial dalam pembahasan Rancangan Undang-undang tentang Keistimewaan Yogyakarta pada bagian kedua ini. Pada tulisannya, pada kesimpulannya penulis setuju dengan penetapan Sri Sultan Hamengku Buwono dan Sri Paduka Paku Alam sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY secara otomatis. Kesimpulan tersebut dibangun di atas landasan sejarah dan landasan konstitusional. Pada aspek histroris, diulas dari munculnya Perjanjian Giyanti yang dibuat pada tanggal 12 Februari 1755 hingga munculnya piagam kedudukan dari Presiden Soekarno serta amanat 5 September 1945 dan 30 Oktober 1945 oleh Sultan dan Paku Alam (hal. 54 – 55). Sedangkan pada landasan konstitusional keistimewaan sebuah daerah, termasuk DIY tentunya, diakui oleh Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 (hal. 56).

Pada bagian ketiga, tulisan diarahkan pada pembahasan mengenai sistem pemilu yang berlaku di Indonesia. Tulisan mencakup pembahasan mengenai peta Indonesia pasca Pemilu pertama yang digelar setelah reformasi hingga urgensi partisipasi masyarakat dalam mewujudkan Pemilu yang demokratis. Mekanisme pencalonan Kepala Daerah tanpa melalui konvensi juga turut menjadi sorotan Penulis. Menurut Penulis, rekrutmen kepala daerah yang dilakukan tanpa melalui mekanisme konvensi hanya akan memunculkan oligarkhi parpol, politik uang dan tawar menawar dari calon dengan parpol yang akan mencalonkannya (hal. 81). Masih menurut penulis, pengajuan calon melalui mekanisme konvensi akan membuat partai yang bersangkutan menunjukkan sebagai partai reformis dan demokratis. Konvensi juga akan memberikan kesempatan yang luas bagi siapapun yang terpanggil untuk menjadi calon kepala daerah (hal. 81).

Lontaran gagasan yang disampaikan oleh penulis di atas agaknya belum sepenuhnya direspon oleh sebagian besar atau bahkan seluruh partai politik yang ada saat ini. Contoh paling mutakhir adalah munculnya capres-capres pada pemilihan presiden 2009 yang lalu yang secara otomatis ditetapkan oleh parpol tanpa melalui mekanisme konvensi. Jika ditingkat pusat sudah demikian, jauh panggang dari api harapan itu akan terlaksana di pesta demokrasi di tingkat lokal dalam pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah. Beruntung, Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan hak uji materiil mengenai calon independen dalam pilkada. Putusan tersebut kemudian dilanjutkan dengan revisi terbatas atas Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah khusus mengenai pencalonan secara independen. Masyarakat Indonesia masih menunggu upaya parpol untuk mereformasi dirinya agar tidak menjadi oligarkhis-elitis atau, memungkinkan masuknya calon independen dalam pemilihan umum presiden dan wakil presiden oleh konstitusi.

Pada bagian keempat, penulis mengkritisi sistem bikameral, pilpres langsung dan mahkamah konstitusi. Prospek calon independen dalam pilpres juga tak luput dari bidikan kajiannya. Menurut penulis, calon independen sesungguhnya tidak bertentangan dengan UUD 1945. Jika dibaca secara komprehensif, UUD 1945 menurut penulis, justru menjamin hak-hak calon Presiden independen di antaranya Pasal 27 ayat (1) Bab tentang Warga Negara, Pasal 28 D ayat 1 dan 3 Bab X A tentang Hak Asasi Manusia (hal. 169).

Bagian terakhir (kelima) diberi judul Yuridis Ketatanegaraan. Tema ini bisa dibilang sebagai tema ”sapu jagat” karena berisi ulasan mengenai dinamika ketatanegaraan Indonesia persoalan amandemen konstitusi, kekuasaan kehakiman, hak uji materiil, aplikasi peraturan perundang-undangan, pengembangan fungsi legislasi DPR hingga yang lebih umum lagi yang diberi judul ”Masalah-masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini” atau ”Persoalan Ketatanegaraan Indonesia”.

Secara umum, buku ini layak bahkan enak untuk dibaca karena mengetengahkan persoalan-persoalan ketatanegaraan dengan bahasa yang ”sangat membumi”. Pembaca juga akan diberi tawaran ide yang banyak dan beragam dari berbagai persoalan ketatanegaraan yang terjadi di Indonesia pasca refomasi. Namun sayang, bagian keempat yang diberi judul ”Calon Independen dari DPD” tidak secara konsisten membahas persoalan seputar DPD, proses pencalonannya serta peran yang dimiliki dalam sistem ketatanegaran Indonesia. Pembahasan juga meluas pada pilpres, MK dan calon independen. Persoalan konsistensi judul bagian dengan isi juga (sebenarnya) terjadi pada bagian pertama, kedua, dan ketiga. Pada ketiga bagian tersebut juga terdapat judul makalah yang jika dicermati secara jeli kurang relevan dengan penamaan bagian-bagian buku.

Terlepas dari kekurangan yang ada, buku ini layak diapresiasi penerbitannya. Di tengah kesibukannya, penulis masih mempunyai waktu lebih untuk mengorganisir berbagai karya ilmiah (makalah)nya dalam sebuah buku sehingga karya-karya besar itu tidak hilang begitu saja turut menguap setelah gegap suasana diskusi lenyap. Wallahua’lam bisshowab.

Tamansiswa, 5 Agustus 2009

Anang Zubaidy, SH.



Sumber : MEMBANGUN KETATANEGARAAN INDONESIA BERWAWASAN PANCASILA


Beli Buku Ini

Sebelum Anda berminat untuk membeli buku ini, silahkan baca terlebih dulu persediaan buku ini pada "KETERANGAN BUKU" di atas tadi. Jika memang stoknya masih ada, silahkan melakukan pembelian atau pemesanan.

Namun begitu, jika stok pada kami tidak ada (kosong), Anda juga bisa melakukan pemesanan untuk jangka waktu yang bisa Anda tentukan sendiri. Jika nantinya buku itu sudah tersedia, kami akan segera menghubungi Anda melalui kontak informasi yang tentunya Anda sertakan dalam pemesanan.

Ada beberapa pilihan cara untuk membeli atau memesan buku ini. Silahkan Anda pilih dengan terlebih dahulu menuju halaman ini (klik untuk membukanya).

Anda juga bisa langsung menghubungi kami via SMS, Yahoo Messenger (YM), atau melengkapi formulir pembelian berikut ini.

untuk melakukan pembayaran, silahkan baca panduan dalam "Cara Pembayaran".

Terimakasih atas kepercayaan dan kerjasamanya

Tags: , ,
Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More

KABARE BUKU

selain berkabar tentang adanya buku, kami juga melayani pembelian buku-buku tertentu. Khususnya, buku-buku yang informasi harganya telah kami sampaikan bersamaan kabar masing-masing buku. Silahkan Baca : Cara Beli Buku di KABARE BUKU.

0 komentar

Leave a Reply